Selasa, 22 April 2008

stasiun tv al manar mengudara

Ingin melihat fakta kebiadaban Zionis-Israel terhadap warga Palestina? Ingin melihat betapa menyedihkannya kondisi warga Palestina hidup di kamp-kamp pengungsian di negerinya sendiri? Ingin melihat bagaimana ‘badut-badut Arab pengikut Abu Jahal’ bersalaman mesra dengan Zionis-Israel sambil memaki kaum Mujahidin yang berjihad memerangi musuh Allah SWT? Sekarang, hal itu sudah bisa kita tonton di layar kaca televisi Indonesia.

Stasiun televisi Al-Manar, sebuah stasiun teve milik Gerakan Syiah Hizbullah Lebanon yang telah mengudara di Beirut sejak tahun 1991, sejak awal April 2008 telah bisa dipirsa seluruh siarannya di Nusantara. Hizbullah dengan tegas menyatakan bahwa Stasiun TV Al-Manar merupakan stasiun teve perjuangan umat Islam untuk melawan hegemoni Zionis atas seluruh jaringan media massa dan kantor berita dunia.

Beda dengan Aljazeera dan Al-Arabiya yang masih dianggap kurang greget dalam al-memberitakan realita perjuangan umat Islam di Dunia Arab, maka Al-Manar dengan tegas dan tanpa tedeng aling-aling memaparkan apa adanya. Sebab itu, di beberapa negara Arab sendiri seperti Saudi Arabia dan Mesir, stasiun teve ini dilarang mengikut arahan dari Paman Sam yang memang menuding stasiun teve ini sebagai stasiun teve teroris.

Uniknya, di Indonesia, Al-Manar bisa mengudara dengan menggandeng Satelit Palapa C2 yang sahamnya dimiliki Indosat. Tahu sendirilah siapa yang berada di belakang Indosat. Awal Januari lalu, Al-Manar juga sempat mengudara di Thailand, namun kemudian diputus kontraknya sepihak karena Thailand baru tahu jika Al-Manar merupakan stasiun teve perjuangan Gerakan Syiah Hizbulah Lebanon. Mudah-mudahan hal yang sama tidak terjadi di Indonesia.

Jadi, jika Anda ingin melihat kondisi nyata saudara-saudara seiman kita di berbagai negara Arab yang sampai sekarang masih saja ditindas oleh Zionis-Israel, atau ditindas oleh saudara-saudaranya sendiri yang lebih memilih bersekutu dengan Zionis ketimbang dengan Allah SWT, maka sediakan saja dekoder atau parabola untuk bisa menangkap siaran teve perjuangan Hizbullah ini. Namun jika Anda ingin melihat gegap-gempita Pilkadal, maka jangan harap bisa melihatnya lewat stasun teve ini.(rz)

Berita Terkait


Aminah Assilmi : diancam dibunuh Setelah Bersyahadat


Katagori : Journey to Islam
Oleh : Redaksi 31 Mar 2008 - 5:30 pm


PENGANTAR. Semenjak memeluk Islam, ibunya sudah tak mengakui lagi ia sebagai anak. Ayahnya bahkan hendak menembaknya pula. Sang kakak menganggap ia sudah gila. Lalu suami menceraikannya. Oleh pengadilan dia divonis tak punya hak mengasuh kedua anaknya, kecuali meninggalkan Islam. Belum selesai sampai disitu, setelah mengenakan jilbab ia malah dikeluarkan dari tempat kerjanya. Begitulah ujian demi ujian datang menerpa Aminah Assilmi setelah memeluk Islam. Namun perempuan Amerika ini tetap tegar. Alhasil, dengan kuasa Allah, beberapa tahun kemudian neneknya yang telah berusia 100 tahun masuk Islam. Lalu bapaknya, diikuti ibu, kakak, anak lelakinya yang telah berusia 21 pun kemudian memeluk Islam. Bahkan, enam belas tahun setelah bercerai, mantan suaminya juga masuk Islam. Kini ia banyak diundang memberikan ceramah di berbagai tempat di Amerika. Satu kalimatnya yang terkenal: “Bagi saya, profesi terbaik adalah menjadi seorang ibu.” Berikut kisah lengkapnya seperti dituangkan dalam http://www.islamfortoday.com/aminahassilmi2.htm . ( watch her speech )

Aminah Assilmi dulunya seorang juru baptis, penganut feminis yang radikal dan juga seorang jurnalis radio. Tapi kini, selepas memeluk Islam, dia bagaikan seorang duta besar bagi agama Islam. Sebagai Direktur International Union of Muslim Women atau Persatuan Wanita Muslim Internasional dia benar-benar menyuarakan kebenaran Islam. Aminah kerap mengadakan perjalanan, berceramah di kampus-kampus, menyeru pentingnya kepedulian terhadap masyarakat banyak serta berbagi pemahaman atas keyakinan yang dianutnya kini.

Aminah sendiri, jauh sebelum mengenal Islam, awalnya berada di garda terdepan kelompok pembenci Islam. Dalam buku yang dikarangnya “Choosing Islam”, Aminah menceritakan perjumpaannya dengan Islam.

Berawal dari kesalahan komputer
Aminah dikenal sebagai gadis yang cerdas hingga memperoleh beasiswa selama kuliah. Disamping itu ia juga mengembangkan bisnis sendiri, berkompetisi secara professional hingga akhirnya memperoleh penghargaan (awards). Semua itu berlangsung semasa masih kuliah di perguruan tinggi. Ada kejadian menarik tatkala ia memasukkan data registrasi mata kuliah ke komputer di kampusnya. Berawal dari sinilah ia mengenal Islam hingga di kemudian hari kehidupannya berubah secara total.

Kejadian itu pada tahun 1975 ketika pertama kali pendaftaran mata kuliah menggunakan sistem komputer. Waktu itu saya melakukan registrasi sebuah mata kuliah. Setelah mendaftar saya pun berangkat ke Oklahoma untuk urusan bisnis,” kisahnya mengenang. Urusan bisnisnya sedikit lama, membuatnya tertunda kembali ke kampus. Dan baru muncul di kampus dua minggu setelah kuliah dimulai. Bagi dia ketinggalan pelajaran dan tugas-tugas mata kuliah tidak masalah. Namun yang membuatnya sangat terkejut adalah ketika diketahui komputer salah dalam melakukan registrasi. Di komputer namanya tertera sebagai peserta kelas Theatre, sebuah kelas dimana para mahasiswa musti unjuk kebolehan di depan peserta lainnya.

Saya ini gadis pendiam. Bagi saya berdiri di depan kelas adalah hal yang sangat menakutkan. Tentu saja membatalkan mata kuliah tidak mungkin lagi. Sudah sangat terlambat. Tidak hadir sama sekali selama kuliah, juga bukan pilihan yang tepat. Sebabnya saya menerima beasiswa. Bila nilai saya jatuh, beasiswa bisa dicabut,” tambahnya.

Suami Aminah menyarankan agar ia menemui dosennya guna mencari solusi alternatif lain. Oleh sang dosen ia dianjurkan untuk masuk ke kelas lain. Namun alangkah terkejutnya Aminah tatkala masuk ke kelas alternatif itu.

Saya tak menduga di kelas itu banyak sekali wanita Arab berjilbab. Waktu itu saya menyebut mereka dengan “para penunggang unta”. Kontan gairah saya hilang,” kenangnya.

Aminah tidak jadi ikut kelas tersebut dan pulang ke rumah.“Saya tidak mau berada di tengah-tengah orang-orang Arab. Saya tidak mau duduk bareng dengan orang-orang kafir kotor itu!,” tulis Aminah dalam bukunya. Suaminya, seperti biasa, tetap tenang menghadapinya.

Dengan kalem sang suami menyebut bahwa Tuhan punya maksud tertentu atas segala apa yang terjadi. Ia lalu meminta Aminah untuk berpikir masak-masak sebelum memutuskan berhenti kuliah. Konon lagi pemberi beasiswa telah mengeluarkan dana untuk studinya itu. Selama dua hari Aminah mendekam di kamarnya guna mengambil keputusan. Akhirnya dia memutuskan kembali ke kampus. Kala itu, menurut Aminah, dia seperti merasakan seolah-olah Tuhan memberinya tugas untuk mengkristenkan mahasiswi Arab itu. Ia rasakan seperti ada sebuah misi yang musti dituntaskan segera.

Misi Kristenisasi
Kala kembali ke kampus, Aminah pun mulai menjalankan misi Kristenisasi kepada mahasiswi Arab itu.

Saya terangkan tentang neraka. Bagaimana mereka akan dibakar dan disiksa jika tak ikut ajaran Kristen. Lalu saya terangkan Yesus cinta mereka dan Yesus mati disalib untuk menebus dosa-dosa pengikutnya. Jadi kita musti ikuti dia.” terang Aminah yang mengaku heran dengan kesopanan mahasiswi Arab tersebut. Mereka tidak membantah sedikitpun dengan apa yang diterangkannya.

Anak-anak Arab itu kok belum tertarik juga dengan Kristen. Saya putuskan untuk mencoba cara lain. Yakni saya coba pelajari kitab mereka untuk membuktikan bahwa Islam agama salah dan Muhammad bukan Nabi,” tukasnya lagi.

Atas permintaan Aminah, seorang mahasiswi Arab memberinya sebuah mushaf Al-Quran dan beberapa buku tentang Islam. Aminah mulai mempelajari Al-Quran berikut dengan bantuan 15 buah buku tentang Islam secara intensif. Al-Quran dibaca berulang-ulang, dikajinya berdasarkan referensi-referensi yang ada, lalu dibacanya lagi. Begitu seterusnya. Selama observasi dia selalu mencatat hal-hal yang tak disetujuinya guna membuktikan pendapatnya Islam agama salah. Kajian berjalan selama hampir satu setengah tahun.

Cari kelemahan Islam
Begitulah, setelah berjalan hampir dua tahun, alih-alih berupaya mengganti paham mahasiswi Islam tersebut dengan ajaran Kristen, malah Aminah yang akhirnya belajar Al-Quran. Awalnya dia mempelajari Quran untuk mencari kesalahan-kesalahan Islam, untuk membuktikan Nabi Muhammad bukan Nabi. Akan tetapi semakin dibaca, semakin tertarik ia dengan Islam.

Tanpa disadari, perilakunya mulai sedikit berubah. Rupanya perubahan itu menarik perhatian suaminya. “Sungguh, tanpa saya sadari ada perubahan kecil dalam keseharian saya. Tapi itu sudah cukup mengganggu pikiran suami. Biasanya saban Jumat dan Sabtu kami sering pergi ke bar atau menghadiri pesta. Tapi saya tidak begitu suka lagi. Bahkan berhenti makan babi dan minum-minuman keras,” kisahnya.

Lama- kelamaan suaminya mulai menaruh curiga dengan perubahan itu. Suaminya menduga Aminah ada hubungan gelap dengan lelaki lain. Puncaknya, mereka pisah ranjang, dan bahkan kemudian pisah apartemen. Namun Aminah masih terus mengkaji Al-Quran.

Secara khusus dia mengaku sangat tertarik dengan apa yang dikatakan Al-Quran tentang laki-laki dan perempuan. Wanita Islam, sebelum dia mempelajari Al-Quran, dia pikir berada dalam penindasan suaminya. “Waktu itu dalam sangkaan saya suamilah yang memaksa istri, misal untuk memakai jilbab,” ujar Aminah.

Melalui kajian intensif, dia dapati bahwa wanita Islam punya kesamaan hak dalam pekerjaan, pendidikan tanpa memperhatikan gender mereka. Yang menarik baginya, pada saat seorang wanita Islam menikah, maka dia tidak harus mengganti nama belakang (nama keluarga-red) menjadi nama keluarga suami, tapi tetap menjaga nama ayahnya. Dan banyak lagi perkara-perkara lainnya. Dari situ Aminah mengambil kesimpulan bahwa Islam atau dengan kata lain Nabi Muhammad telah mengangkat harkat dan martabat kaum wanita.

Didatangi lelaki berjubah
Akhirnya, satu malam seseorang mengetuk pintu rumahnya. Ternyata seorang lelaki berjubah dan mengaku bernama Abdul Aziz Al-Shekh. Ia ditemani tiga orang temannya dengan pakaian yang sama. Aminah sangat terkejut dengan kedatangan pria tak diundang itu. Apalagi tatkala pria berjubah tersebut mengatakan bahwa hanya masalah waktu saja bagi Aminah untuk menjadi seorang muslim.

Dia berujar saya sudah siap jadi seorang Islam. Saya kontan menangkal pernyataannya itu dengan menyebut saya orang Kristen. Selama ini saya hanya coba mengkaji, bukan mau masuk Islam. Begitu kata saya malam itu,” tukas Aminah mengenang. Begitupun Aminah mempersilahkan mereka masuk karena ia ingin mengajukan beberapa pertanyaan tentang Islam yang masih menyelubungi pikirannya.

Aminah menumpahkan semua pertanyaannya, hasil observasi selama hampir dua tahun. Abdul Azis mendengarkan dengan seksama. Tiap pertanyaan dijawabnya dengan sangat tenang dan teratur. Aminah mengaku sangat puas dengan jawaban-jawaban yang diberikan. “Akhirnya, keesokan harinya, dengan disaksikan Abdul-Aziz dan tiga temannya sayapun bersyahadah. Saat itu 21 Mei 1977,” kenangnya.

Dikucilkan Keluarga
Segera setelah Islamnya Aminah, perlahan ujian demi ujian pun datang. Dia dikucilkan oleh keluarga dan teman-temannya. Ibunya tak mengakui lagi ia sebagai anak. Yang lebih parah, sang ayah bahkan hendak menembaknya pula. Kakak Aminah menganggap ia sudah gila dan perlu dirawat di rumah sakit jiwa. Belum berhenti disitu, suami pun menceraikannya. Yang membuat hati Aminah sangat pedih adalah kala pengadilan memutuskan dia tak punya hak mengasuh kedua anakNYA, kecuali meninggalkan Islam. “Saya meninggalkan pengadilan dengan hati yang hancur. Anda bisa bayangkan bagaimana hati seorang ibu dipisahkan dari anak-anaknya,” ujar Aminah sedih.

Belum selesai sampai disitu, setelah mengenakan jilbab ia malah dikeluarkan dari tempat kerjanya. Namun karena kecintaannya pada Islam, penderitaan-penderitaan itu tidak membuat imannya runtuh. Aminah menyitir sebuah ayat suci Al-Quran (Ayat Kursi-red) yang bikin hatinya tenang:

Tidak ada Tuhan yang patut disembah melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang ada di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izin-Nya. Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi dan Allah tidak merasa berat memelihara kedua-duanya, dan Allah Maha Tinggi Lagi Maha Besar. (Q.S. 2;255).


Anggota keluarga masuk Islam
Meskipun keluarga mengucilkannya, Aminah tetap menjaga hubungan dengan mereka. Misalnya, ia sering berkirim surat dan selalu menulis beberapa terjemahan ayat Quran dan hadis yang berhubungan dengan masalah sosial kemanusiaan. Namun Aminah tak menyebut petuah-petuah itu dari Al-Quran. Rupanya strategi itu lumayan manjur. Lama-kelamaan ada respon positif dari anggota keluarga. Aminah pun terus berkirim surat plus kutipan-kutipan berisi ayat Quran dan hadis Nabi.

Begitulah, dengan sabar dan doa, satu demi satu anggota keluarganya masuk Islam. Pertama, sang nenek yang sudah uzur. “Nenek berusia 100 tahun ketika menerima Islam. Persis setelah itu dia meninggal dunia. Masya Allah nenek meninggal dengan membawa buku amalan yang penuh kebajikan ke akhirat,” kisah Aminah.

Tak lama, ayah yang dulu hendak membunuhnya juga memeluk Islam. Dua tahun kemudian, sang ibu diikuti oleh kakak Aminah juga bersyahadah. Dan yang membuat Aminah sangat gembira, anaknya yang telah beranjak dewasa (umur 21 tahun) juga mengikuti jejaknya. Yang paling mengharukan, enam belas tahun selepas Islamnya Aminah, mantan suaminya juga mengucap dua kalimah syahadah. Mantan pasangan hidupnya itu bahkan meminta maaf atas segala kekhilafannya.

Aminah sendiri kala itu telah menikah dengan pria lain. Dia sempat didiagnosa oleh dokter mengidap penyakit kanker dan divonis tidak bisa memiliki anak lagi. Namun Allah punya kuasa. Ia tetap bisa mengandung dan diamanahi seorang anak laki-laki yang diberi nama “Barakah”.

Saya sangat gembira menjadi seorang Muslim. Islam adalah hidupku. Islam adalah irama hatiku. Islam adalah darah yang mengalir di sekujur tubuhku. Islam adalah kekuatanku. Islam telah membuat hidupku sangat menyenangkan. Tanpa Islam aku tak berarti apa-apanya. Andai Allah memalingkan wajah-Nya dariku, sungguh aku tak bisa bertahan hidup,” senandung Aminah Assilmi yang telah dua kali berhaji ke Mekkah.

Tak malu tunjukkan identitas Islam
Aminah dalam beraktifitas tak malu-malu menunjukkan keislamannya. Misal, dia mengenakan busana muslimah secara sempurna. Jilbab menutupi sekujur kepala dan rambutnya, serta busana panjang menutupi seluruh anggota tubuhnya. Sesuatu yang tidak lazim sebenarnya bagi warga di Amerika, dimana wanita umumnya gemar mempertontonkan aurat mereka.

Satu ketika Aminah memberikan kuliah di hadapan mahasiswa yang memenuhi ruang kuliah di Universitas Tennesse tentang status wanita dalam Islam berjudul “Wanita Muslim berbicara dari balik hijabnya.”

Wanita muslim tidak dibatasi dalam berkarir oleh agamanya. Begitupun, bagi saya, profesi terbaik adalah menjadi seorang ibu. Karena para ibulah yang membentuk generasi masa depan,” ujar Aminah diplomatis. Wanita Islam, lanjutnya, saat ini banyak mendapat diskriminasi di lapangan hanya karena mereka berjilbab. Ia menekankan, terutama di negerinya Amerika, muslimah sangat sulit mengaktualisasikan dirinya. Pernah satu saat ketika Aminah hendak mencairkan cek di sebuah bank. Satuan pengaman bank serta merta menghardiknya seraya mengarahkan moncong senapan ke wajahnya. “Itu hanya karena saya berjilbab,” katanya.

Aminah mengingatkan para pengeritik Islam yang kerap menyebut bahwa wanita-wanita di negeri-negeri Islam tertindas di bawah kekuasaan lelaki. Ia menjelaskan bahwa yang menindas mereka bukanlah Islam, tapi budaya setempat. Dalam Islam wanita begitu dihormati dan tinggi derajatnya. “Jangan anggap (ajaran Islam) seperti itu. Sangat bodoh,” ujarnya. Ia sangat tidak setuju Islam dijadikan kambing hitam.

Itulah Aminah Assilmi. Dulunya memojokkan Islam dan bahkan bermaksud meng-Kristen-kan kawan sekelasnya. Berbagai ujian dan penderitaan yang datang selepas ia memeluk Islam tak membuatnya bergeming. Allah berikan ganjaran atas kesabarannya itu dengan mengirimkan hidayah kepada seluruh anggota keluarganya. Kini ia bersama organisasinya memperjuangkan agar umat Islam di Amerika mendapatkan libur di kala merayakan lebaran. Salah satu sukses yang telah mereka rengkuh adalah beredarnya perangko Idul Fitri, hasil kerjasama dengan kantor pos Amerika. Wallahu ‘alam bisshawab. [Zulkarnain Jalil/www.hidayatullah.com]


"Tak Mungkin Belajar Islam pada Orang Junub"

"Tak Mungkin Belajar Islam pada Orang Junub"


Katagori : Counter Liberalisme
Oleh : Redaksi 12 Mar 2008 - 2:30 pm


Dr Syamsuddin Arif *Belajar Islam ke negara-negara Timur Tengah, itu biasa. Belajar Islam ke negara-negara Barat, ini baru beda dari biasa. Padahal, negara-negara tersebut—setidaknya menurut catatan sejarah—bukan negara yang menjadi tempat berkembangnya Islam, seperti Timur Tengah. Meski demikian, peminatnya dari tahun ke tahun terbilang tidak sedikit.

Menurut data Direktorat Perguruan Tinggi Islam Departemen Agama tahun 2005, pengiriman mahasiswa untuk belajar Islam ke negeri Barat dimulai pada tahun 1950-an. Jumlah mahasiswa yang berangkat berjumlah tiga orang, yaitu: Harun Nasution, Mukti Ali, dan Rasyidi. Ketiga orang tersebut belajar di McGill’s Institute of Islamic Studies (MIIS), Kanada. Dan sekarang, perkembangannya jauh lebih besar dan lebih dasyat.


Umumnya, sebagian lulusan studi Islam di Barat terpengaruh gaya berfikir ala Barat yang liberal dan sekuler. Tapi tak semuanya begitu. Ada juga yang kritis. Professor Rasjidi, misalnya adalah seorang lulusan program Islamic Studies di Universitas McGill, Kanada. Tapi ia justru ikut “menghadang gerakan anti sekularisme dan liberalisme”. Namun menurut mantan Menteri Agama RI pertama ini, pada umumnya belajar Islam di Barat sangat terpengaruh oleh pemikiran orientalis.

Bagaimana sebenarnya belajar di Barat? Dan bagaimana seharusnya sikap seorang Muslim? Bolehkan seorang Muslim belajar tentang Islam pada seseorang yang tidak meyakini Iman Islam?


Fakultas khusus Islamic studies

Nah, hidayatullah.com[/url] kali ini mewawancari Dr. Syamsussin Arif. Syamsuddin adalah peneliti INSISTS (Institute for the Study of Islamic Thought and Civilization). Cendekiawan muda Betawi ini menyelesaikan doktornya di ISTAC-Kuala Lumpur dan juga pernah menyelesaikan disertasi untuk doktor keduanya di Orientalisches Seminar, Universitas Frankfurt, Jerman. Kini, selain sebagai peneliti INSISTS, sehari-hari ia mengajar di Universitas Islam Internasional Malaysia (IIUM). Di bawah ini adalah petikan wawancaranya.

Lutfie Assyaukanie dari aktivis Islam Liberal (JIL) pernah berkata, "Asiknya belajar Islam di Barat." Anda juga pernah belajar Islam di Barat. Apa Anda merasakannya?

Kalau yang dimaksud mempelajari seluk-beluk ajaran Islam secara serius lagi mendalam, dengan tujuan menjadi ulama pewaris Nabi dalam arti yang sesungguhnya, maka universitas- universitas di Barat bukanlah tempatnya.

Bagaimana mungkin seorang yang tidak beriman kepada Allah dan hari akhir, tidak pernah bersuci, tidak pernah shalat, disebut ahli hadis, ahli tafsir, ahli fiqh? Bagaimana mungkin orang yang seumur hidupnya dalam keadaan junub disejajarkan dengan Imam as-Syafi'i, Imam Ahmad, Imam al-Ghazali? Hayhaata hayhaata, saa'a maa yahkumuun (Aduhai, aduhai, sungguh suatu keputusan yang buruk).

Namun kalau tujuannya mempelajari cara sarjana Barat mengkaji Islam, maka saya kira bukan masalah. Adapun soal asiknya belajar di Barat itu memang betul. Tapi, tentu bukan hanya di Barat. Lebih tepatnya di negeri orang.

Bagi orang Barat, belajar di Timur itu mengasikkan. Banyak kejutan karena serba tak pasti. Berbeda dengan suasana di negeri asal mereka yang semuanya teratur dan serba terencana, sehingga hidup sehari-hari menjadi monoton dan menjemukan.

Sebaliknya, bagi orang Timur, hidup di Barat itu nyaman dan menyenangkan. Lingkungannya bersih, transportasi murah, lancar, aman, dan lain sebagainya. Jadi, yang asik bagi saya itu suasana hidup di Barat, bukan belajar Islam di Barat.

Menurut Anda, perlukah Muslim Indonesia belajar studi Islam di Barat?

Nah, pertanyaan ini sudah betul. Belajar studi Islam di Barat, bukan belajar Islam. Jawabannya, menurut saya, tetap perlu, meski harus diikat dengan niat dan syarat yang jelas. Niatnya meningkatkan pengetahuan, menambah pengalaman dan memperluas wawasan lillahi ta'ala, bukan li-dun-ya yushibuha.

Di Barat, Anda bisa mempelajari metodologi riset yang biasa disebut technique of scholarship. Metode ini menggabungkan penguasaan bahasa, budaya, dan sejarah dengan kecakapan filologi dan ketajaman analisis falsafi. Adapun syaratnya, yang bersangkutan harus sudah matang dulu secara intelektual maupun spiritual.

Sebenarnya, apa efeknya jika belajar studi Islam di Barat?

Efeknya banyak. Bisa positif dan bisa negatif. Positifnya, Anda dilatih untuk serius dan teliti dalam mengkaji suatu masalah. Anda juga akan paham mengapa dan untuk apa orang-orang Barat itu menekuni studi Islam.

Efek negatifnya juga ada. Anda menjadi skeptis (senantiasa meragukan). Namun, menurut saya, soal efek ini tergantung orangnya. Kalau yang bersangkutan suka jahil dengan agamanya sendiri dan buta akan tradisi intelektual Islam, apalagi kalau sudah minder, tentu mudah sekali terpukau dan terpengaruh oleh hasil kajian islamolog Barat.

Dalam beberapa kasus, orang mengaku menemukan Islam di Barat. Bagaimana ini bisa terjadi?

Saya kira itu ungkapan frustasi yang berlebihan. Sebuah jawaban untuk pertanyaan yang telah menggangu para pemikir Muslim dari mulai Abduh, Iqbal, Rahman hingga al-Attas: limaadza ta'akhkhara l-muslimun wa taqaddama ghayruhum? Mengapa umat Islam tertinggal, sementara umat-umat lain maju pesat?

Keterbelakangan umat bukan disebabkan oleh ajaran Islam, sebagaimana kemajuan Barat bukan dikarenakan agamanya. Kemajuan, kebersihan, kesehatan, ketertiban, itu soal mentalitas, soal disiplin, kejujuran dan kerja keras. Meminjam ungkapan almarhum Ustadz Rahmat Abdullah: " Umat Islam ini bagaikan mobil tua yang remnya pakem, sedangkan Barat itu bagiakan mobil mewah yang remnya blong."

Menurut Anda, apakah studi Islam di Barat atau Eropa itu selalu kental misi orientalisme?

Saya tidak ingin memukul-rata. Namun, pada banyak kasus memang tak dapat dipisahkan dari agenda-agenda tertentu yang jelas berpihak pada kepentingan politik, ekonomi, dan budaya mereka. Hal ini dapat dimaklumi dan terlalu naif untuk kita pungkiri.* [Agus Amin, Cholis Akbar. Diambail dari majalah Suara Hidayatullah/www.hidayatullah.com]

Dr Syamsuddin Arif *
[Peneliti INSISTS dan pengajar di : [Universitas Islam Internasional Malaysia (IIUM)]

Esdhie's Photoslide 2008